Suara Merdeka, Rabu, 10 Maret 2004. KONONketika Mataram di bawah Sunan Amangkurat I tahun 1670-an, daerah
Kebumen telah dikenal sebagai lumbung padi. Bahkan sering menjadi
pemasok bahan pangan bagi pasukan Mataram saat menyerang Batavia.
Sampai kini pun Kebumen mampu mencapai surplus beras sekitar 120.000
ton/tahun. Maklumlah, lahan sawah subur di daerah barat Bagelen itu
berupa irigasi teknis, ditopang sistem pengairan dari Waduk Sempor dan
Wadaslintang.
Namun sejak tiga bulan terakhir ini, kota Kebumen dan Gombong
”diserbu” puluhan angkring dari Mataram. Mereka memboyong nasi bungkus,
gorengan, dan wedang. Akankah potensi Kebumen sebagai daerah lumbung
padi kini terancam? Tentu tidak.
Angkring Mataram tadi tak lain adalah para pedagang kaki yang
membawa gerobak dengan dua roda sepeda. Dari penuturan pedagang
angkring itu, di kota Kebumen tiap malam kini ada 30 wedang angkring
yang dilabeli khas Yogyakarta.
Para pedagang wedang angkring dari daerah Klaten ini dengan percaya
diri mangkal di posisi-posisi strategis. Wedang angkring khas Yogya ini
pun laris manis.
Lihatlah di sepanjang Jalan Pemuda yang merupakan pusat kaki lima,
ada empat wedang angkring di situ. Belum lagi di sudut-sudut kota,
seperti seputar Alun-alun, Jalan HM Sarbini depan Asrama Polres, Jalan
Ahmad Yani, dekat perempatan Kembaran, dan Kawedusan.
Singkat kata, dalam waktu singkat sudut-sudut kota Kebumen dan Gombong telah dipenuhi wedang angkring.
Apa menu istimewa wedang angkring khas Yogya ini sehingga diterima lidah
wongKebumen?. Sebenarnya sederhana. Wedang angkring ini, menurut Sumpono
(27), lelaki asal Dusun Jarum Kecamatan Bayat Klaten, diadopsi oleh
majikannya yang bernama Edi Waluyo dari jajanan malam di Yogyakarta.
Pedagang biasanya menjual berbagai minuman mulai dari teh, kopi, jahe, sampai susu. Menu andalannya populer dinamai
sega kucing, yakni nasi bungkus dengan lauk sambal dan sedikit bandeng. Selain itu, ada nasi dengan lauk sayur kering tempe.
Murah MeriahGorengannya juga macam-macam. Ada tempe, bakwan, pisang, tahu, dan
sebagainya. Sumpono menjelaskan, harga nasi bungkus hanya Rp 500,
gorengan Rp 300, dan minuman bergantung pada jenisnya. Teh dijual Rp
500, kopi Rp 1.000, susu Rp 1.300, dan susu jahe Rp 1.500.
Puluhan angkring di Kebumen itu, dua orang pemiliknya. Edi Waluyo
mengontrak di Pejagoan, dan satu lagi Margono, tetangganya, mengontrak
di Kembaran. Edi memiliki 22 angkring di Kebumen dan 12 di Gombong,
sedangkan Margono punya 8 wedang angkring yang diberi label ”Angkring
Koboy”.
Sumpono mengatakan, setiap pedagang berjualan selepas magrib sampai
sekitar pukul 01.00 dini hari. Pemasaknya ada sendiri. Untuk gorengan,
dia mengambil untung Rp 50 dan wedang atau minuman serta nasi mendapat
Rp 100.
Dia mengaku kerasan berjualan di Kebumen. Sebab, sejak dua bulan ini
jualannya tergolong cepat habis. Apalagi Sumpono mangkal di Jl Ahmad
Yani, depan toko mebel Jepara Indah yang strategis. Tiap malam belasan
anak muda sambil gitaran menyerbu angkringnya.
Hal serupa terjadi di tempat-tempat lain. Sekali makan, cukup Rp
2.000-2.500 sudah kenyang sambil minum teh panas dan mengisap sebatang
rokok eceran. Saking larisnya, penjual sering kehabisan es balok dan
harus beli eceran ke kios sebelah.
Pelanggan silih datang pergi, baik nongkrong di warung maupun beli
untuk dibawa pulang. ”Lumayan, bisa untuk ganjal perut,” ucap lelaki
buruh plastik yang malam itu dengan lahap makan di wedang angkring.
Murah meriah dan praktis, itu agaknya kata kuncinya.
Lalu, siapa juragan wedang angkring yang jeli memanfaatkan peluang
itu? Edi Waluyo, menurut Sumpono, lelaki asli Klaten namun beristri
warga Gombong.
Dia pernah punya usaha angkutan di sebuah pasar di Yogyakarta. Namun
usahanya bangkrut. Dia lalu ikut istrinya di Gombong, sambil buka usaha
potong rambut.
Ide segarnya muncul tatkala melihat dunia malam di kota Gombong dan
Kebumen yang terus menggeliat. Ia terilhami oleh makanan wedang
angkring di Yogya yang punya pelanggan bukan hanya para buruh angkut
dan bakul, namun juga para mahasiswa.
Wedang angkring itu sebenarnya sudah lama ada di kota Solo,
sama-sama pusat keraton. Sampai tahun 1990-an awal, wedang angkring
masih dipikul. Kala itu namanya hik, kependekan dari ”hidangan istimewa
kampung”.
Pedagang hik ini jualan di sudut-sudut jalan, gang depan toko, dan
hotel hingga larut malam. Konsumennya selain tukang becak juga wong
cilik dan orang-orang tua.
Kekhasan penjua hik ini tak lupa membawa radio transistor dan tiap malam Minggu menyetel siaran wayang kulit.
Lalu, Sumpomo yang mulai
enjoy jualan wedang angkring di
Kebumen, hanya tertawa ketika ditanyakan soal radio itu. ”Ah, saya
cukup dengarkan anak-anak muda itu main gitar, Mas,” ucap pemuda
berperawakan kecil yang mulai berani naksir gadis Kebumen itu.(
Komper Wardopo-80c)
Sumber :
http://indipt.org